Sebuah Catatan untuk Saya

Mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik — Anies Baswedan

Saya baru membaca setengah buku Indonesia Mengajar yang ditulis oleh beberapa Pengajar Muda. Kesan dari buku ini yang bisa saya rasakan adalah dada saya sesak. Hal ini dikarenakan ketika fenomena pendidikan yang nyata diceritakan begitu gamblangnya di buku ini. Cerita-cerita gedung sekolah yang bobrok memang pernah saya tahu dari sebuah novel Laskar Pelangi, hanya itu. Namun, saya dibuat terenyuh lagi oleh gambaran semangat anak-anak sekolah dasar di daerah terpencil, namun dukungan fasilitas yang tidak mumpuni, orangtua yang tidak begitu mengerti pentingnya sekolah dan masih banyak hal sehingga meredupkan cahaya mereka secara perlahan tapi pasti.

Kisah yang masih saya ingat di buku tersebut, tentang seorang anak, yang tidak ingin berbicara secara langsung dengan gurunya (pengajar muda) karena pengajar tersebut juga bukan guru kelasnya. Kemudian anak ini memiliki kebiasaan yang unik dan aneh menurut saya, yaitu melemparkan sebuah gumpalan kertas yang berisi latihan soal yang bocah kelas 3 ini kerjakan. Tapi, yang dikerjakan bukanlah soal matematika kelas 3, namun kelas 5 dan yang mengejutkan lagi 80% jawaban bocah mungil ini benar, serta faktanya bahwa bocah ini sudah tidak masuk sekolah selama 3 bulan. Pengajar ini tak kehabisan akal untuk mendekati murid unik satu ini, ia pun membalas koreksi dari beberapa jawaban yang kurang tepat dengan gumpalan kertas yang sama lalu melemparkan ke arah luar rumah, dan muncul sosok mungil yang penasaran mengambil kertas tersebut, ternyata bocah ini terus menunggu dan memperhatikan gurunya. Hingga suatu saat hujan deras mengguyur Pengajar Muda dan rekan Guru lainnya tersebut dalam perjalanan ke SD tempat dimana mengajar, dengan terpaksa mereka pun berteduh di bawah pohon karet. Lalu muncul sosok bocah mungil itu dengan membawa dua buah daun pisang datang menghampiri mereka dan memberikannya. Bocah itu pun tanpa disangka memeluk pinggang Pengajar Muda dan berkata, “pak, saya mau sekolah lagi, saya mau belajar!”, kurang lebih kata anak tersebut kalau di-translate bahasa Indonesia-nya seperti itu.

Saat saya membaca bagian ini, air mata saya menetes dan dada saya juga ikut sesak.  Saya berkaca, saya malu pada diri saya sendiri. Selama ini pendidikan begitu mudah saya dapat dari Guru, Orang tua, Dosen dan orang-orang di sekitar saya, tapi di sisi lain Indonesia, daerah terpencil seperti Majene, Halmahera Selatan dan masih begitu banyak lagi yang saya tidak begitu mengetahuinya, Pendidikan menjadi sebuah komoditi yang mahal untuk didapatkan, bukan dalam arti sebenarnya, karena kebijakan pemerintah yang menetapkan bahwa Sekolah Dasar di Indonesia Gratis sehingga bukan perkara lagi Sekolah Dasar memerlukan biaya mahal saat ini, namun yang lebih ditekankan disini adalah begitu mahalnya sebuah makna bahwa pendidikan menjadi suatu yang sangat teramat penting untuk ditanamkan bagi saudara kita dipelosok sana. Ketika sebuah kata “pendidikan” hanya diartikan sebagai “bisa membaca dan menulis”, maka janganlah heran menemui orangtua yang menyekolahkan anaknya ketika waktu senggang, namun ketika orangtua tersebut membutuhkan anak tersebut untuk membantu mereka bekerja di ladang atau di laut, maka anak tersebut secara sepihak dirampas hak untuk mereguk dahaga pendidikannya.

Bagi saya buku ini menjadi salah satu inspirasi saya untuk jauuuh lebih bersyukur atas kehidupan yang selama ini saya dapat serta lebih menghargai setiap proses yang pantas untuk diperjuangkan. Sekarang ini, sebagian banyak dari kita yang dengan mudah mendapatkan air bersih yang hanya tinggal buka keran saja, gadget yang sudah menjadi lifestyle kebanyakan orang, menghabiskan ratusan ribu tiap kali makan, dan begitu egois diri untuk mencari kesenangan diri, namun apakah kau tau? Di sana mereka, tak ada listrik hanya untuk penerangan di malam hari saja, sulit untuk mengakses informasi seolah terisolasi dari kemajuan teknologi dunia saat ini, standar hidup perbulan yang hanya sekitar 150rb hingga 200rb, setiap hari harus menyambung hidup dari bukit ke bukit untuk mencari air bersih dan sayuran yang hanya sekedar kacang-kacangan untuk lauk makan nanti malam.

Semakin sesak dada saya, ketika harus mengetahui realita yang ada. Semakin kecil dihadapan mereka yang begitu “besar”nya hati mereka untuk menerima dan menjalani dengan ikhlas kehidupan mereka. Yak, saya sekali lagi tertampar oleh anak kecil (lagi). Huh, suatu saat saya harus menjadi bagian gerakan mereka, itu tekad saya.

***

Well, ini sebenernya saya tulis ini pada tanggal 07 Agustus 2013 🙂 Dan karena cocok dengan giveaway nya mas ryan tema bersyukur jadi saya ikutkan ke dalam giveaway ini kategori non fiksi. 😀

 “Tulisan ini disertakan dalam TGFTD – Ryan GiveAway” 

 banner-giveaway

28 thoughts on “Sebuah Catatan untuk Saya

  1. Saya ikut terenyuh membaca postingan ini. Jadi…,”nikmat apalagi yang engkau ingkari…,” benar banget ayat ini. Sukses ya buat GAnya.oya, mohon maaf lahir bathin ya atas segala salah dan khilaf baik yang disengaja mapun yang tidak disengaja. Semoga silaturahmi ini tetap terjaga sampai kapanpun.amin…

  2. bersyukur yang dengan apa yang dmiliki ya sekarang ya… bisa ngeblog, mendapatkan pendidikan, air bersih dengan mudah, bisa jalan, bisa bersin tanpa harus ngerasa sulit, dll…

    met sukses GA nya… and maaf lahir batin, semoga amal ibadah di Ramadhan di terima oleh Nya..

  3. Pingback: TGFTD – The Winner Is… | Jejak Langkah...

Leave a comment