Sebagai mahasiswa yang jauh dari rumah, tentunya saya harus menyewa sebuah kamar kost. Trend nya kalo di kampus saya itu, kebanyakan kos-kosan mewah yang hanya dijaga oleh satu penjaga kos. Yup, pastinya tau sendiri lah ya, si penjaga kosan hanya sebatas menjaga dari para maling dan kebersihan kosan, tetapi tidak bisa menggantikan posisi orangtua sebagai controlling bagi para mahasiswa unyu-unyu ini. Loh tapi kan mereka udah dewasa secara mahasiswa gitu? Namun, faktanya bisa diliat sendiri lah ya kaya gimana, yang pernah jadi mahasiswa tau pasti deh ya.. atau mungkin mahasiswa di zaman kamu berbeda kali ya..
Well, kali ini saya gak akan bahas tentang beraneka ragam kelakukan mahasiswa alias anak muda –termasuk saya juga loh ya- yang bikin geleng-geleng kepala orangtua dan warga sekitar. Ampuuuuni anakmu ini mah.. Tapi, tulisan ini saya buat berdasarkan pengalaman yang saya alami baru-baru ini. Di akhir November ini, organisasi ,dimana saya aktif sebagai pengurusnya, mengadakan sebuah program untuk masyarakat sekitar, yaitu “Festival Mahasyarakat”. Dari segi nama nya pasti udah pada bisa menebak, acara ini bertujuan untuk melibatkan mahasiswa dan masyarakat secara bersama-sama.
Acara ini dilatarbelakangi oleh sesuatu yang simple sebenernya, interaksi sosial mahasiswa dan masyarakat sekitar kampus yang sangat kuraaaang. Mungkin ada yang protes, Gak kok, buktinya Himpunan A atau Bem C atau Hima B mengadakan acara bakti sosial rutin, kita juga mengadakan pelatihan ini itu, kita juga mengadakan pengajaran non formal buat adek-adek sekitar dan bla bla bla.. Helloooo.. tapi itu hanya segelintir, coba cung -tunjuk tangan- deh bagi masih merasa mahasiswa, berapa jumlah warga asli sekitar kosan kamu yang kamu kenal? 20 orang? 5 orang? 1 orang -paling bapak kosan-? Atau tidak sama sekali? Miris kan. Iya kenyataan nya memang begitu kok.
Well, kami -saya bersama team- sudah semangat ‘45 untuk mensurvey wilayah mana yang jadi sasaran program kami. Sasaran RW kali ini yaitu ada empat RW dan renacanya untuk malam ini kami mengunjungi dua RW. Nah, disini tantangan nya, kami harus menawarkan program ini semenarik mungkin, mulai dari program lomba kebersihan hingga jalan sehat telah kami jabarkan. Namun, apa tanggapan dua RW tersebut? Yup, mereka dingin. Melihat tanggapan warga seperti itu, puput, salah satu yang termuda di team kami, langsung berubah ekspresinya menjadi sendu dan redup pula semangatnya. Duh.
Hmm, disini lah tantangan kami untuk mendobrak “kedinginan” masyarakat terhadap kami -para mahasiswa- terlebih untuk masalah kebersihan. Saya masih ingat akan tridharma perguruan tinggi yang ketiga, yaitu pengabdian masyarakat. Apa artinya jika seorang mahasiswa berprestasi, pintar, cumlaude, bekerja di perusahaan ternama –sebenernya, doa juga buat saya amiiin-, namun belum pernah bahkan tidak bisa menyentuh lapisan mayarakat paling dasar, yaitu lingkungan sekitar.
Ya, kami harus membuat strategi untuk melakukan “pendekatan” dengan warga sekitar yang merasa bahwa mahasiswa hanya sebagai “pendatanng” saja. Sebenernya, pengen minta saran-saran juga dari blogger, how to melakukan pendekatan dengan masyarakat ya yang efektif? Thank you banget banget untuk apapun sarannya. 😀
***
kalu lomba kebersihan sih mendingan kalian mahasiswa, baur gitu bersihkan lingkungan sekitar jalanan erte-erwe.. ada tuh mahasiswa UNAS yang kost deket rumah, mereka tiap weekend atas ijin ketua erte, udah gotong royong bersihin jalanan dan got deket kost kost mereka.. jadi kita yang di rumah kasih mereka cemilan pagi semisal teh dan roti.. terus ngobrol deh.. dari situ kita jadi tahu ini mahasiswa datang dari flores, ambil kuliah biologi, dan pengen kerja di pertanian.. lucu orangnya.. beberapa ku kenal dari daerah juga.. yang dari papua pendiam, tapi rajin.. katanya pengen jadi ustadz..
iyaaaa.. memang yang aku rencainain sama teman-teman mahasiswa juga pengen berbaur jadi merekanya ngebaur ke masyarakat.
makasih yaa mba tinsyam 🙂
bagus juga idenya kalu ngajarin anakanak pemulung tuh..
mungkin bisa diawali dengan menyapa masyarakat dan ngobrol dikit2.
*saya sendiri kurang gaul*
😀
hehe,,iyaa, memang yang paling susah memulainya itu lho mas :3
memang agak sulit ya untuk berbaur dan mencanangkan sebuah kegiatan pada lingkungan masyarakat yg baru, karna memang brbeda2 suasana dan tipikal masyarakat di suatu tempat, ada yang misalnya di ruang lingkup Rw yang warganya gemar berinteraksi, namun ada pula di satu Rw yang warganya kurang berinterkasi satu sama lain. jadi yang pertama kita kenali adalah tipikal suasana warga d Rw tersebut, kalo bisa cari tahu siapa warga yang berpengaruh d Rw tersebut, biasanya kita akan mudah melakukan sosialisasi kegiatan jika kita dibantu sama orang yang berpengaruh ditempat tersebut.
kalau bisa, buat juga kegiatan yang bisa membuat para warga terhibur, contohnya; seperti kompetisi catur antara warga dengan mahasiswa, lomba tenis meja, gapleh (bukan judi ya), dan kompetisi lainnya yg disukai warga, dan kita juga bisa menyelipkan kegiatan seperti lomba kebersihan atau jalan sehat yang memang sudah diagendakan sebelumnya.
moga paparan dari saya ini isa bermanfaat hehe.. 😀
sukses ya dengan program Mahasyarakatnya 🙂
waaah,, makasih banget ya kang amy 🙂 apalagi tentang saran nya tentang orang yang berpengaruh, berarti belum tentu ketua RW nya kan ya?
iya belum tentu neng, bisa ketua DKM msjid yng berpengaruh, bisa jadi di Rw tersebut ada warga yang jadi tokoh masyarakat, biasanya ada warga yang dituakan (dilihat dari pengalaman atau orang yang paling lama tinggal di kampung tersebut), trus ada hal lain yang tak kalah pentingnya, yaitu bekerja sama dengan para pemuda yang ada di Rw tersebut, dengan karang tarunanya lebih mantap, soalnya bekerjasama dengan pemuda akan lebih mudah pada tahap pelaksanaannya, di samping sama2 mempunyai semnagat yang tinggi, juga kita bisa mudah menyamakan visi. 🙂
mudah2an ada pencerahan ya neng 😀
iyaaa.. ini mah banyak pisan kang 🙂 hatur nuhun pisan ya kang amy 😀
sama2 neng kebo 😀 hehe lucun manggilnya neng kebo apa sekalian harus manggil neng munding hihi (kidding) 😀
aaaaak.. jangan.. gak enak dengernya munding :p haha
emang kebo enak ddnger? hhi 😀
enak kok.. *ngotot* hahaha
okelah kalau gitu (mengalah)….hihi
Ber-masyarakat memang sebuah mata kuliah yg tak pernah mengenal kata “lulus”. Selalu menuntut pembelajaran disetiap menjalaninya. Semangat ya Cah Ayu
wahh.. siap abi_gilang 🙂 hehe 😀
idenya bagus bagnet, semoga lancar2 yaaa
amiiin.. makasih doanya tante nonik :)))
yang simpel2 aja, kerja bhakti antara anak kos dan para warga, lalu makan siang bareng (urunan tentunya) pasti deh makin akrab dan makin memberikan pengaruh baik untuk lingkungan. Puncak yang mungkin bisa terjadi adalah: terjadi cinlok di kampung! Mantep tuh!
iya mas. kalo itu emang sudah jadi bagian dari program nya.. tapi, mungkin harus dari kita nya dulu kali ya mas yang memulai..
berarti sepertinya tantangan tidak berada pada idenya (sudah banyak ide bagus seputar isu ini), tapi lebih pada eksekusinya, dan ke-istiqomah-an untuk menjalankan konsep yang dibuat di awal, serta keberlanjutannya, atau kalau bahasa kerennya, kaderisasi,
iyaaaa… karena menghadapi masyarakat itu sama saja menghadapi sebuah variabel yang kompleks dan dinamis. kita tidak bisa prediksi output bagimana. :3
yee, siapa bilang kita tidak bisa prediksi? Bisa kok!
.
.
.
.
cuman sering salah sih prediksinya, hehe
program yg sangat bagus tu mbak… kita sbg mahasiswa bingung jg sih gimana biar “menyatu” gitu dg masyarakat…
okeee.. terimakasih 😀
doakan yaaaa 🙂
Deketin anak-anak / remaja warga di sekitar kosan, biasanya sih kalo kita deket sama anaknya, hubungan dengan orangtuanya juga bakal terjalin. Dari situ deh pdkt, kira-kira masyarakat disitu gimana karakter-nya, apa yang mereka butuhkan. Bisa mulai pdkt dengan main-main ke masjid kalo ada pengajian / event keagamaan, atau sesekali nongkrong di posyandu sambil ngobrol sama ibu-ibu…
maslaahnya, satu RW luas banget kan ya? -.-
dan yang baru bisa kejangkau which means RW tersebut antusias dengan kegiatan kita, hanya baru satu RW ka 😦
Wah semangat kebooo.. Aku suka rindu momen2 berorganisasi ala mahasiswa deh kalo baca postinganmu ini hehe.
oia? hahaha. semoga postingan ini bisa mengobati kangen nya teh lia. haha
kenapa gak ikut komunitas gtu teh? kan suka ada yang ngajar2 buat anak jalanan misalnya di tiap kota mah 🙂
keren ide potonya 🙂
makasiiih 😀
tapi sayang blm pernah ngrasain jadai mahasiswa reguler 🙂
oia, mas ambil kelas karyawan yaa.? keren bagi waktunya ^^
nguli dulu baru sekulah hehehe 🙂 #perjuangan #sama2keren hehehe
Lingkungan masyarakat lebih kejam daripada dunia kampus.
Kalau belajar dari matkul Kesehatan Komunitas kemarin mah biar gampang berbaur mah, pdkt dulu sama para pejabat dan tokoh masyarakatnya, patuhi norma setempat, dan kalau bisa pake bahasa mereka.
woiyaaa.. bener banget. kerasa banget kalau bikin ssuatu yang gak sesuai dengan masyarakat pasti langsung ditolak mentah2 aplagi kalo gak ada pdkt nya -.-